Selasa, 05 Mei 2009

fenomena gong kebyar

''Wabah'' cross rhythm yang kini "menjangkiti" para komposer gong kebyar merupakan bukti bahwa seniman Bali begitu cerdik menyiasati sebuah "kekacauan". Mereka sukses "membungkus" ritme-ritme yang saling berseberangan dan terkesan agak "kacau" itu menjadi komposisi musik nan indah yang mampu menggetarkan rasa.

"Cita Rasa" Baru

Seniman-seniman Bali, khususnya seniman gong kebyar, senantiasa "gelisah". Senantiasa ingin menciptakan karya-karya yang memiliki "cita rasa" baru yang sebelumnya tidak ada. Di dalam menciptakan karya-karya baru itu, para komposer gong kebyar tidak saja berpegang pada nilai-nilai estetika karawitan Bali semata, tetapi juga mencari inspirasi dari musik-musik luar. Apakah itu musik dari daerah-daerah lain di Indonesia, Afrika, Eropa, Asia dan sebagainya. Terkadang, musik luar yang menginspirasi karya-karya seniman Bali itu memiliki ritme yang berseberangan dengan ritme karawitan Bali. Namun, mereka mencoba memadukan ritme yang saling berseberangan itu sehingga menghasilkan komposisi musik yang tetap enak didengar oleh telinga tanpa meninggalkan karakter ke-Bali-annya.

"Keterpengaruhan itu sering kita temui pada gong kekebyaran yang mengembangkan pola cross rhythm. Dalam proses berkesenian, itu sah-sah saja,

Dari segi permainan melodi, katanya, gong kekebyaran Bali (tradisi/klasik-red) lazimnya memakai teknik ngempat. Artinya, memainkan dua buah nada secara bersamaan dengan di sela dua nada di tengah nada itu. Misalnya, ngempat antara nada nding dengan ndung yang lebih tinggi. Teknik ngempat ini tertangkap secara jelas pada garapan tabuh-tabuh klasik. Bangunan atau bentuk dan struktur dari tabuh-tabuh klasik dasarnya adalah triangle -- ada kepala, badan dan kaki yang bersama-sama menyusun keharmonisan. Dari segi pepayasan atau ornamentasinya masih menggunakan teknik-teknik yang berkembang secara tradisi.

Pada perkembangan kekinian yang dimotori oleh seniman-seniman akademis, kata Rai menambahkan, mereka sudah mencari kebebasan. Teknik-teknik konvensional terkadang tetap dipakai, tetapi mereka juga banyak mengeksplorasi atau mencoba kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa dikembangkan. Makanya, tidak jarang tabuh-tabuh kreasi baru pada gong kebyar terdengar agak "aneh" karena komposer-komposer masa kini memasukkan ornamen-ornamen baru di luar yang biasa dipergunakan.

"Saat ini banyak sekali teknik-teknik baru yang dimasukkan dalam gong kebyar. Model kekilitan atau otek-otekan baru pun diciptakan sehingga membuat gong kebyar ini tidak menjemukan untuk dinikmati. Selalu ada kejutan. Tidak puas bermain-main dengan instrumen, mereka juga memasukkan keplokan tangan maupun vokal untuk menyempurnakan garapan tabuh gong kebyar tersebut," .

Pakar etnomusikologi ini menambahkan, kreativitas seniman Bali memang tidak mengenal istilah stagnan. Pasti ada "celah" yang bisa dimasuki untuk melakukan inovasi dan eksplorasi guna menghasilkan karya-karya seni yang penuh pukau. Ketika pakem-pakem yang "beraroma" tradisi tidak lagi terasa menantang untuk ditaklukkan dan terkesan menjemukan, mereka pun berupaya menemukan sesuatu yang benar-benar baru. "Cross rhythm merupakan salah satu embusan napas baru yang membuat gong kebyar begitu menarik untuk dinikmati. Meskipun pada awalnya terdengar agak asing, lama-kelamaan penikmat seni di Bali jadi terbiasa dan malah sangat menyukai konsep berkesenian seperti itu. Buktinya, pergelaran gong kebyar di ajang PKB senantiasa dibanjiri penonton," katanya.

Seniman Akademis

Menurut Rai, kiprah kreativitas seniman akademis memang memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap arah dan perkembangan gong kebyar di era kekinian. Cross rhythm, misalnya, pada awalnya bergulir dari bangku kuliah lembaga pendidikan seni. Seniman-seniman muda yang kreatif itu mencari inovasi-inovasi baru dalam berkesenian. Acapkali, mereka memadukan teori-teori musik tradisional Bali dengan teori-teori yang mereka dapatkan dalam musik Barat, India, Afrika, Cina dan musik-musik dari belahan dunia lainnya. Dalam konteks ini, gong kebyar terkesan begitu fleksibel dan meluas.

"Gong kebyar itu kan berlaras pelog. Dengan satu teknik tertentu, laras pelog itu bisa dibawa ke selendro lewat permainan suling. Pada titik tertentu, laras itu akan dikembalikan lagi pada satu titik atau nada sehingga garapan gong kebyar itu akan memberikan kesan yang sangat baru. Jadi, gong kebyar saat ini sudah mengalami pembaharuan-pembaharuan baik dari segi konsep, teknik juga penampilan," paparnya panjang lebar.

Rai menambahkan, salah satu tabuh kreasi kekebyaran yang cukup sukses merangkum unsur cross rhythm adalah tabuh "Lekesan" garapan I Nyoman Windha. Komposer kondang Bali ini begitu jeli meramu beragam musik tradisi Indonesia lantas ditransformasikan ke dalam gong kebyar Bali. Salah satu instrumen musik non Bali yang digunakan untuk memperkayakan ornamentasi "Lekesan" adalah musik perkusi rebana.

"Untuk bisa memadukan unsur-unsur musik etnis Nusantara itu secara harmonis ke dalam barungan gong kebyar Bali yang sudah mapan, komposer memang dituntut kejeliannya. Sementara komposer lainnya ada yang memasukkan batok kelapa, angklung bambu dan sebagainya untuk menghasilkan garapan yang mencuatkan kebaruan. Inovasi-inovasi seperti itu harus dihargai karena hal itu membuat gong kebyar Bali lebih berwarna," katanya lagi.

Pendapat senada juga dilontarkan Arya Sugiarta dan Windha. Menurut praktisi karawitan yang juga dosen ISI Denpasar ini, "aroma" cross rhythm terasa begitu kental pada tabuh-tabuh kreasi duta seni Gianyar dan Denpasar pada lomba gong kebyar PKB tahun ini. Kegairahan ber-cross rhythm itu tidak hanya "menjangkiti" penabuh dewasa tapi juga menjelajah kreativitas sekaa anak-anak.

Sekaa Gong Anak-anak Desa Pakraman Batuan, Sukawati, Gianyar, misalnya, tampil begitu memukau lewat tabuh kreasi "Watugangga". Penabuh-penabuh cilik itu sukses memainkan ritme-ritme empat, lima, tujuh dan seterusnya secara bersama-sama tanpa menghancurkan keutuhan "bangunan" tabuh itu. "Salah satu persyaratan wajib yang harus dipenuhi oleh sekaa gong yang berani memainkan cross rhythm, penguasaan teknik dan musikalitas para penabuh harus prima. Salah satu saja dari penabuh itu salah, maka struktur tabuh itu akan hancur berantakan. Kalau sudah begitu, maka sangat sulit untuk mengembalikan keharmonisan tabuh itu," kata Arya Sugiarta yang dibenarkan oleh Windha. w. sumatika

Tabuh dengan Ritme Kacau sangat Berisiko Tinggi

TABUH dengan ritme "kacau" atau tidak seragam seperti yang tersaji dalam cross rhythm memang cukup berat bagi penabuh-penabuh yang tidak terlatih dengan ritme itu. Makanya, kata Windha komposer yang mengkomposisi tabuh-tabuh seperti itu harus menakar secara benar kualitas para penabuh yang akan memainkan komposisi tersebut. Sebab, tabuh dengan pola seperti ini sangat berisiko tinggi. Salah sedikit, maka seterusnya tabuh itu akan kacau balau.

"Jadi, kualitas teknik penabuh sangat menentukan keberhasilan dalam memainkan tabuh beritme cross rhythm. Makin hebat kualitas penabuh, maka komposer makin berani memasukkan unsur cross rhythm sebanyak-banyaknya ke dalam garapannya. Ingat, tingkat kesulitan cross rhythm itu sangat tinggi. Kalau kualitas penabuh pas-pas, mungkin lebih baik cross rhythm itu ditiadakan ketimbang tabuh itu hancur berantakan," katanya mengingatkan.

Rai, Arya Sugiarta dan Windha sepakat bahwa fenomena cross rhythm ini mampu menghembuskan "napas" kebaruan dalam gemuruh perkembangan gong kebyar yang saat ini menapaki puncak popularitasnya. Kendati begitu, ketiga komposer Bali mengingatkan rekan-rekannya agar tidak kebablasan memasukkan cross rhythm ke dalam garapannya. Apalagi, garapan-garapan yang banyak memasukkan unsur musikal luar Bali. Ditegaskan, proses pembaharuan sah-sah saja. Tapi, pembaharuan itu tidak harus diterjemahkan dengan merombak total "bangunan" seni gong kebyar tersebut.

Titik "keberangkatan" kreativitas tetap harus ditumpukan pada jati diri dari gong kebyar itu sendiri. Sedangkan inovasi-inovasi baru yang mengadopsi ide, teknik dan unsur-unsur musikal non Bali harus dimanfaatkan sebagai aksentuasi atau pemanis yang tidak sampai mencerabut karakter dan jati diri ke-Bali-anya gong kebyar tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar